194 Humaniora Volume XIII, No. 2/2001 RELEVANSI ANALISIS TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL UNTUK MEMAHAMI PENTAS WAYANG KULIT DALAM MASYARAKAT JAWA MASA KINI: SEBUAH KASUS TENTANG LAKON PANDHU SWARGA? Manu J. Widyaseputra? ? Dibacakan dalam Seminar Bulanan Pusat Studi Kebudayaan dan Perubahan Sosial UGM 20/4/2000. ? Doktorandus, Staf Pengajar Jurusan Sastra Nusantara, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. A. Pengantar eni pertunjukan tradisional telah menjadi pusat perhatian di banyak negara Asia. Pada umumnya, diterima suatu anggapan bahwa perubahan teknologi dan perubahan sosial yang deras dapat membawa seni pertunjukan itu ke titik kepunahan, atau seni pertunjukan itu dipaksa berubah demi mendapat pengakuan. Dengan menggunakan pentas wayang kulit sebagai studi kasus, khususnya Lakon Pandhu Swarga, tulisan ini berpendapat bahwa pertunjukan- pertunjukan rakyat selalu berubah, dan memahami perubahan-perubahan semacam itu sebagai hasil dari faktor-faktor teknologis saja kiranya tidak cukup. Model yang didasarkan di sini mencoba memperhitungkan kehadiran satu genre pertunjuk - an tertentu sebagai suatu interaksi antara teks dan konteks. Teks ditetapkan sebagai struktur dasar bentuk dramatik, keterbatasan- keterbatasan, dan kesanggupan-kesanggupannya untuk berubah. Konteks ditetapkan sebagai faktor-faktor sosio-kultural yang berfungsi untuk menciptakan sebuah lingkungan seni pertunjukan semacam itu. Dengan jalan ini akan dapat diterangkan terjadinya perubahan pengertian makna Lakon Pandhu Swarga dalam masyarakat Jawa masa kini (cf. Koanantakool, 1989: 31). Tulisan ini pertama-tama menyajikan deskripsi singkat tentang fungsi pertunjukan wayang kulit dalam masyarakat Jawa. Setelah itu dikemukakan analisis teks Lakon Pandhu Swarga agar dapat dimengerti maknanya. Selanjutnya, ditunjukkan situasi sosio-kultural masyarakat Jawa pada masa kini. Interaksi antara teks dan konteks dalam rangka Lakon Pandhu Swarga akan dapat memperlihatkan pengertian masyarakat Jawa terhadap makna lakon itu dan pemanfaatan lakon itu dalam kehidupannya, khususnya dalam bidang ritual. Akhirnya, tulisan ini ditutup dengan kesimpulan. B. Fungsi Pentas Wayang Kulit dalam Masyarakat Jawa Dalam Kakavin Arjunavivaha, sebuah kakavin yang digubah oleh Mpu Kanva sekitar tahun 1030 TU untuk Sri Maharaja Airlangha yang bertahta di Kerajaan Kahuripan, Indra memberi penjelasan sebagai berikut. an?nonton ringit mananis asekel mudha hidepan, huvus vruh tovin yan valulan inukir m?lah anucap, atur nin vvan trsn?n visaya malaha tan vihikana, ri tatvanya-n maya sahana-hana nin bhava siluman AV V,9 Ada banyak orang menonton wayang, menangis, sedih, kacau hatinya, telah tahu bahwa kulit yang dipahatlah yang bergerak dan berucap itu, S Relevansi Analisis Tekstual dan Kontekstual untuk Memahami Pentas Wayang Kulit Humaniora Volume XIII, No. 2/2001 195 begitulah rupanya orang yang lekat akan sasaran indera, melongo saja sampai tak tahu, bahwa hakikatnya mayalah segala yang ada, sulapan belaka. (Wiryamartana, 1990: 134). Bait di atas membuktikan bahwa seawal- awalnya abad XI TU, orang Jawa telah memiliki pertunjukan bayang-bayang, yang pementasannya dengan wayang-wayang kulit. Sejumlah prasasti Jawa Kuna melengkapi indikasi-indikasi tentang penanggalan yang lebih tua. Dalam prasasti tahun 907 TU yang dikeluarkan oleh raja Balitung diperoleh keterangan: ?.....si galigi mavayan.....?, ?.....Si Galigi mementaskan wayang.....?, dan prasasti untuk sima yang dikeluarkan tahun 840 TU oleh Sri Maharaja Lokapala menyebutkan tokoh-tokoh yang ikut ambil bagian dalam aringit yang sinonim dengan mavayan. Bagaimanakah pertunjukan wayang yang telah berumur lebih dari 1.000 tahun berfungsi secara sosial? Seorang sejarawan dan arkeolog, J.L.A. Brandes berpendapat bahwa pentas wayang kulit tidak dipinjam dari India, seperti halnya dengan kasus hasil-hasil arsitektur dan arca-arca Jawa Kuna, tetapi merupakan ciptaan orang Jawa pribumi dari masa silam. Dalam mendukung pendapatnya Brandes menunjuk pada nama-nama berbagai macam peralatan teknis yang digunakan untuk pentas wayang kulit. Namanama itu bukanlah bahasa Sansekerta, melainkan bahasa Jawa Kuna (Brandes, 1889: 123-124). Di samping itu, dengan mendasarkan diri pada H.H Wilson, Brandes menyatakan, ?... Orang Hindu tidak memiliki pentas wayang, dan teater populernya tidak mengandung kemiripan dengan teater populer orang Jawa...? (Wilson, 1835: LXVI). Sebenarnya, Brandes dipengaruhi oleh J. Crawfurd yang lebih dahulu telah menyebut orang Jawa adalah ?pencipta drama Polinesis? (cf. Crawfurd, 1820, I: 127). Pandangan Brandes ini disetujui oleh filolog G.A.J. Hazeu (Hazeu, 1894: 145). Hazeu berpendapat bahwa sejauh pentas wayang Jawa diperhatikan dapat diperoleh gambaran: orang Jawa sama sekali tidak berhutang, baik kepada orang Hindu maupun kepada orang Cina. Hazeu menunjukkan bahwa pentas wayang Jawa mempunyai sifat religius. Pentas wayang diselenggarakan dalam upacara-upacara yang sangat khidmat pada saat orang Jawa mempunyai hajat (nduwe gawe) (Keeler, 1987: 142), misalnya upacara perkawinan, khitanan, nyewu, dan sebagainya, serta juga untuk tujuan-tujuan ritual ruwat (cf. Keeler, 1992: 1-25: Jayaatmaja, 1986). Dalam pentas wayang itu, kemenyan dibakar di bawah k?lir, dan sesajian-sesajian tertentu dipersembahkan kepada roh halus. Oleh karena itulah menurut kepercayaan yang telah menyebar secara luas, roh-roh orang yang telah meninggal dunia muncul di antara orang yang masih hidup sebagai roh halus atau bayang-bayang (w?wayangan). Hazeu berpendapat bahwa bayang-bayang yang dihasilkan pada k?lir wayang kulit dimaksudkan untuk menggambarkan semua orang yang telah meninggal dunia, dan bahwa pada mulanya pentas wayang mempunyai suatu fungsi dalam sistem ritual pemujaan nenek moyang (Ras, 1976: 50-51: 73-74: Sastri, 1949; cf. Sears, 1984: 22: Krom, 1931: 45: Pischel, 1906: 482-502). Untuk keperluan pemujaan nenek moyang maka tema-tema viracarita Mahabharata dan Ramayana dipakai sebagai landasan pementasannya. Pentas wayang Jawa yang dikenal dengan nama wayang purwa, menyajikan cerita-cerita yang mempunyai kaitan dengan sastra parva dan kakavin. Dengan kedua genre itu ceritacerita digubah untuk membentuk repertoar yang utama. Pentas wayang yang keberadaannya direkam seawal-awalnya abad IX TU dalam peninggalan prasasti (cf. Sarkar, 1971: 76-99) masih tetap hidup dan tetap populer sampai hari ini dalam masyarakat Jawa yang multireligi, serta tetap memaparkan cerita-cerita viracarita yang agung itu. Bagaimanakah relasi antara pentas wayang kulit yang memuat naratif dari Mahabharata dan Ramayana dengan upacara ritual masyarakat Jawa? Di bawah ini dibahas tentang relasi pentas wayang kulit yang mengambil Lakon Pandhu Swarga dengan salah satu upacara penting yang hidup dalam tradisi masyarakat Jawa, yaitu upacara ritual nyewu. Manu J. Widyaseputra Humaniora 196 Volume XIII, No. 2/2001 C. Analisis Tekstual Lakon Pandhu Swarga Bahan yang dijadikan sarana analisis tekstual adalah kaset wayang kulit dengan Lakon Pandhu Swarga yang dipentaskan oleh dalang Ki Hadisugito. Kaset wayang kulit yang diproduksi oleh Fajar Record pada tahun 1995 bernomor 9325 dengan Lakon Pandhu Swarga itu berjumlah 8 buah yang setiap kaset mempunyai durasi 60 menit. Untuk keperluan analisis lebih lanjut, di bawah ini disajikan ringkasan cerita Lakon Pandhu Swarga. Para Pandhawa yang dipimpin oleh W?rkudara sedang bertapa di Tegal Kurusetra dengan maksud memohonkan pengampunan bagi roh ayah mereka, yakni Pandhu bersama Madrim agar terbebas dari hukuman di Kawah Candradimuka dan supaya diperkenankan masuk ke swarga. Niat para Pandhawa itu tidak mendapat persetujuan dari Bathara Guru. Bahkan, Pandhawa dianggap bersalah terhadap Dewa dan mereka diikutsertakan dosa-dosa ayah mereka. Namun, berkat usaha Sembadra dan Srikandhi yang didukung oleh Bathara Narada, para Pandhawa yang diprakarsai oleh W?rkudara berhasil mengantar Pandhu dan Madrim masuk ke dalam swarga. Dari ringkasan cerita, dapat dilihat dengan jelas bahwa W?rkudara menjadi tokoh sentral dalam rangka usaha memohonkan swarga bagi Pandhu dan Madrim yang pada waktu itu masih menderita di Kawah Candradimuka. Oleh karena itulah W?rkudara bersama saudara-saudara dan para putranya menjalankan tapas di hutan Tegal Kurusetra. Gagasan untuk memohonkan swarga bagi Pandhu dan Madrim dikemukakan oleh W?rkudara sebagai berikut. ?S?jatine rikala sasi kang wus kapungkur, aku nampa gaibing jawata ingk?ng linuwih. Ingkang isining dhawuh iku mau, supaya aku bisa ngaturi pitulungan marang wong atuwaku, swargi Pandhu bapakku, ingk?ng dina iki durung bisa nampa papan ingkang minulya, nanging malah n?mu kacint(r)akan anang Kayangan Suralaya. Mula ingkang kaya m?ngkene l?lakonku kabeh, para kadang- kadangku banjur tak aturi padha mbiyantu, sing kuwat nglakoni lan sing k?sdu padha melu prihatin. De yen mbar?p kakangku ora bakal mbantu pan?muku, kabeh para kadang ora padha nduwe pan?mu kang padha karo aku, saiki N?gara Ngamarta sak isine padha l?nggahana, aku tak anang alas. Ora pati-pati aku bali marang Praja Ngamarta, yen durung bisa nampa paswargan Pandhu bapakku, mbar?p kakangku!? (KWK LPS 2B). Dari pernyataan W?rkudara di atas dapat diketahui bahwa tema utama Lakon Pandhu Swarga adalah pembebasan Pandhu dan Madrim dari siksa Kawah Candradimuka oleh W?rkudara. Oleh karena itulah tidak mengherankan apabila dalam tradisi Bali kisah semacam ini dinamakan Bima Swarga (Bima adalah nama lain W?rkudara). Sekarang yang menjadi persoalan mengapa W?rkudaralah yang mampu melaksanakan pekerjaan mulia itu? Dalam viracarita Mahabharata Werkudara yang juga disebut dengan nama Bhima digambarkan sebagai seorang tokoh yang berbadan raksasa, kokoh, penuh semangat, dan kekuatannya tidak dapat dikalahkan. Kekuatan fisiknya, semangat - nya yang tidak pernah padam dalam menghadapi bahaya, kesetiaannya yang luar biasa kepada Pandava menyebabkan kerap kali ia dipuji-puji oleh para suta dan magada dari masa silam (cf. Hiltebeitel, 1990: 28-29: Gitomer, 1991: 296-323). Di Indonesia konsep India tentang Bhima ditambah oleh para bumi putra dengan elemen baru yakni elemen mistik. Menurut Rajeswari Ghosh, aspek metafisik kepribadiannya tampaknya merupakan inovasi murni orang Indonesia. W?rkudara memainkan peran yang penting dalam aliranaliran mistik dan soteriologis di Kepulauan Nusantara (Ghosh, 1968: 49). Karya sastra yang sangat penting yang mempunyai kaitan erat dengan keberadaan W?rkudara dalam Lakon Pandhu Swarga adalah Navaruci dari tradisi Jawa Per-tengahan, Devaruci dari tradisi Jawa Baru (Poerbatjaraka, 1940: 7-55), dan Bima Suci yang diungkapkan dengan s?kar ag?ng (Prijohoetomo, 1934: 140-190). Relevansi Analisis Tekstual dan Kontekstual untuk Memahami Pentas Wayang Kulit Humaniora Volume XIII, No. 2/2001 197 Pada dasarnya, teks-teks itu menyajikan tema yang sama, yakni perjuangan W?rkudara untuk mendapatkan air suci atau air hidup, yang dalam Navaruci disebut dengan nama san hyan amrtanjivani (NR 66, 20- 210. Tentang identifikasi san hyan amrtanjivani dapat dijelaskan sebagai berikut: tirtha mahapavitra, anirmala, amaya-maya, avadah kundi manik aputih lumarap maenin (NR 67, 14-15). Kegunaan san hyan amrtanjivani juga diungkapkan melalui penjelasan San Hyan Navaruci (San Hyan Acintya) kepada Drona: iku urip in devata kabeh (NR 67, 21). Setelah melalui perjuangan yang keras akhirnya Bhima berhasil mendapatkan san hyan amrtanjivani dari San Hyan Navaruci. Sementara itu teks Bima Suci menyebut air suci atau air hidup dengan istilah tirta pavitra: nulatana inkan tirta pavitra di (BS 150: 2a). Adapun identifikasi tirta pavitra itu ialah: yekan er vimarta sucinin urip (BS 150, 2d). Kegunaan tirta pavitra itu dapat diketahui dari penjelasan Drona kepada W?rkudara yang diungkapkan dengan s?kar ag?ng Kusumavicitra: lamun iku kat?mu y?kti minulya/ nirmala mapangah visesa in urip/ kabeh vus kav?nku aji kan sampurna/ pinunjul in jagat paramusesa ya// (BS 151, 3). anaubi maran bapa biyanira/ mulya sakin sira tur sira lin?vih/ in triloka lang?n ananira kaki// (BS 151, 4a-c) Dari ungkapan itu dapat dimengerti apabila tirta pavitra dalam teks Bima Suci juga disebut dengan nama ba?u urip nirmala (BS 167, 8a). Berkat kegigihan W?rkudara, akhirnya tirta pavitra berhasil diperolehnya dari Devaruci yang juga disebut dengan nama Deva Suksma Suci (BS 168, 12a). Setelah menerima tirta pavitra yang diuraikan dengan sangat terperinci oleh Devaruci (BS 162-189), akhirnya W?rkudara menjadi manusia yang sempurna seperti yang ditulis dalam teks Bima Suci dengan menggunakan s?kar ag?ng Bramaravilasita. yus mankana san vr?kudara mulih/ datan menen in batin pan gumavan/ nora panlin maran sariranipun/ tan kaliru panuksmane savujud// (BS 184, 1) nanin lairipun sasab pininit/ reh sarehnin manulah kasatriyan/ pamurvanin jagattraya dumadi/ kalairan hatine tan kasilih// (BS 184, 2) apan kadya satu mungen rimbagan/ yus pral?bda jati purusatama/ sudagnyana sadana vr?dining tyas/ darma-punya nitya nirmala licin// (BS 184, 3). Dari kutipan-kutipan teks di atas, dapat diketahui bahwa W?rkudara diperkenalkan sebagai pembayat yang sangat saleh dan pemilik kebijaksanaan yang esoteris (cf. Ghosh, 1968: 50). Peran itulah yang kiranya kelihatan nyata dan jelas dalam Lakon Pandhu Swarga. Dengan dimilikinya tirta pavitra, W?rkudara dapat melakukan atmaprasansa: mengantarkan roh menuju ketenangan yang abadi dan juga membebaskan para leluhurnya dari siksa. Tirta pavitra ini juga sangat berguna bagi W?rkudara dalam melepaskan Pandhu dan Madrim dari penderitaan dan siksa Kawah Candradimuka. Dengan usaha W?rkudara yang berbekal tirta pavitra, Pandhu dan Madrim dapat mencapai kelepasan akhir. Kedua orang tua Pandhawa itu kembali ke swarga dengan diantar oleh para bidadari kayangan dan para Pandhawa. Di swarga, Pandhu dan Madrim mendapat anugerah tempat yang mulia (lingih, meru) (Hinzler, 1981: 198-215). Perjuangan W?rkudara untuk mengantar Pandhu dan Madrim dengan bersaranakan tirta pavitra, kiranya tepat seperti yang dikemukakan oleh Drona bahwa tirta pavitra dapat dipergunakan oleh W?rkudara untuk melindungi ayah dan ibunya: anaubi maran bapa biyanira sehingga mereka memperoleh kemuliaan: mulya sakin sira yang kekal dan abadi. Pandhu dan Madrim dibebaskan dari siksa Kawah Candradimuka dengan tirta pavitra hingga mencapai kelepasan akhir. Kelepasan akhir yang menjadi tujuan akhir roh manusia mempunyai arti: menjadi satu kembali dengan Dzat Mutlak yang adalah Sunya. Orang yang telah masuk ke dalam Sunya disebut sebagai yang telah mencapai moksa yang secara harafiah berarti kelepasan dari dunia siksaan, penderitaan dan frustasi, di samping juga dari pluralitas dan perubahan. Telah disadari adanya ?Satu? yang misterius, yang melandasi semua realitas (cf. RV I, 164: 6: 46: RV III, 58: Manu J. Widyaseputra Humaniora 198 Volume XIII, No. 2/2001 2: RV VIII, 2: AtharvaV VII, 21). Secara tegas dikatakan dalam Upanisad-Upanisad bahwa ?Satu? hadir tanpa yang kedua (ek - am evadvitiyam). Persepsi kesatuan dan maknanya mempengaruhi pikiran yang upanisadik sehingga kesatuan menjadi suci dan agung, Ilahi dan normatif. Itulah konsep kesatuan berkaitan erat dengan konsep Brahman (Koothottil, 1982: 39-40). Dikatakan oleh Yajnavalkya bahwa penghayatan tentang Brahman mengantar pada kebahagiaan yang tidak terukur (BrhdAUp IV, 3: 33). Orang yang bijaksana harus menempa diri: jiwanya menyadari identitasnya yang utuh dengan Brahman tertinggi yang impersonal yang dianggap kebenaran akhir alam semesta raya (Basham, 1989: 52-54: 85). Itulah konsep Sunya yang dimanifestasikan menjadi tirta pavitra (cf. Ghosh, 1968: 51) dan kemudian diajarkan oleh Devaruci kepada W?rkudara. Dengan demikian menjadi jelas bahwa usaha W?rkudara adalah upaya menyatukan kembali Pandhu dan Madrim dengan Brahman (Dzat Mutlak) supaya mereka memperoleh kebahagiaan yang tidak dapat diukur, kekal, abadi, dan tidak lagi mengalami penderitaan, siksaan, deraan, frustasi, pluralitas, serta perubahan. Berkat tirta pavitra W?rkudara itulah akhirnya Pandhu dan Madrim dapat mencapai dan kemudian memperoleh kedudukan yang kekal di surga. D. Analisis Kontekstual: Upacara Ritual Nyewu Di depan telah disebutkan bahwa pentas wayang kulit diselenggarakan dalam upacara-upacara ritual. Demikian pula Lakon Pandhu Swarga dipentaskan dalam acara ritual, terutama upacara ritual yang berkaitan dengan kematian. Dalam masyarakat Jawa, bahkan sampai masa kini, masih sering dipentaskan wayang kulit yang mengangkat Lakon Pandhu Swarga untuk upacara ritual nyewu: peringatan seribu hari meninggalnya seseorang. Perhatian kepada seseorang yang telah meninggal agaknya menjadi inti adat-istiadat orang Jawa (cf. Hooykaas, 1976: 35-49: Koentjaraningrat, 1984). Seperti telah dimengerti dalam tradisi Jawa dikenal serangkaian perayaan peringatan orang yang telah meninggal, yakni tiga hari (n?lung dina), tujuh hari (mitung dina), empat puluh hari (matang puluh dina), seratus hari (nyatus dina), satu tahun (m?ndhak pisan), dua tahun (m?ndhak pindho), dan seribu hari (nyewu). Rangkaian peringatan-peringatan itu diserasikan dengan eskatologi Jawa dan ritual penempatan roh orang yang telah meninggal (cf. Goris, 1960: 84). Nyewu sebagai upacara peringatan yang terakhir merupakan titik yang pada titik itu roh orang yang telah meninggal menjadi seorang pitara dan berhenti mempunyai tuntutan pada yang masih hidup. Titik kompromi yang lebih lanjut adalah transisi akhir ini diparafrasekan dalam sebutan formal menurut istilah yang lazim, yakni ?kembali ke wilayah keabadian?, sebuah formula yang menyimpan ambiguitas yang subur di antara agama Hindu dan Islam. Beberapa orang meyakini tempat tinggal orang yang telah meninggal, atau mungkin swarga. Orang yang lain menggambarkan-nya sebagai alam kematian (Beatty, 1999: 231). Orang Jawa percaya bahwa dengan upacara ritual nyewu, roh orang yang telah meninggal mendapatkan kelepasan secara otomatis. Dalam kenyataan, nyewu merupakan ungkapan simbolis keinginan-keinginan sanak keluarga dan ungkapan harapan-harapan untuk menyatukan kembali roh orang yang telah meninggal dengan Dzat Mutlak (Beatty, 1999: 231). Menurut sementara tradisi Jawa dalam upacara ritual nyewu dilakukan upacara ny?kar, ?pemasangan batu nisan (kijing) dan juga maejan?. Dalam upacara ny?kar ini, penyelamatan roh yang benar-benar lengkap semakin diperkokoh dan tempat duduknya di swarga secara simbolis dihubungkan dengan kijing dan maejan yang merupakan tempat kedudukan roh yang bersangkutan dalam lingkungan kerabatnya (cf. Hinzler, 1981: 226-227). Kadang-kadang sebagian orang Jawa menyebut kijing dan maejan dengan istilah candi. Tentu saja yang dimaksud candi oleh orang Jawa tradisional tidaklah sama dengan candi yang dijelaskan oleh Soekmono yang menekankan masalah fungsi candi, yakni sebagai kuil (Soekmono, 1974). Meletakkan kijing dan maejan di atas peristirahatan terakhir orang yang telah meninggal pada saat upacara ritual nyewu (ny?kar) berarti Relevansi Analisis Tekstual dan Kontekstual untuk Memahami Pentas Wayang Kulit Humaniora Volume XIII, No. 2/2001 199 juga membangun candi. Tindakan membangun candi berarti meniru Sang Pencipta yang sebenarnya (Kramrisch, 1976: 10-21). Ritus membangun candi merupakan penguatan terhadap dan pencarian keseluruhan alam semesta karena ?candi adalah mikrokosmos dari keseluruhan ciptaan? (Shulman, 1980: 26). Keseluruhan ciptaan menjadi sangat esensial bagi keutuhan dan konsekuensinya, bagi kebahagiaan manusia (Anand, 1993: 100). Dengan demikian upacara ritual ny?kar itu dimaksudkan untuk menjamin keserasian kosmis. Oleh karena itulah demi keserasian kos - mis itu, maka dalam upacara ritual nyewu juga dibuat sesajian-sesajian dan air suci yang berasal dari buah kelapa pada saat berlangsung pemasangan maejan pada kijing. Secara fungsional sesajian-sesajian itu menjadi tebusan, yang dengan sarana itulah, keluarga dapat memperoleh lingih (meru) dan kemudian mempersembahkannya kepada roh orang yang telah meninggal sebagai tempat duduk di swarga (cf. Hinzler, 1981: 226). Sementara itu, air suci yang disiramkan pada kijing dan maejan (bagian kepala dan kaki) berfungsi sebagai sarana pensucian roh orang yang telah meninggal dalam perubahan terakhir dari kondisi ini (cf. Hooykaas, 1976: 45; Hooykaas, 1964, 1966). Dengan demikian perhatian pada orang yang telah meninggal merupakan masalah kehidupan sehari-hari yang lebih eksplisit, dan dengan upacara ritual nyewu itu para sanak keluarga yang ditinggalkan menyempurnakan elemen-elemen ragawi, dan nasib roh yang telah menjadi pitara sehingga di antara kedua belah pihak tidak terputus secara spiritual. Rangkaian upacara ritual merupakan bagian dari proses yang panjang tentang pembenaran, tetapi orang tidak pernah mengira bahwa kesempurnaan roh dituntun dengan ritual itu. E. Hubungan Analisis Tekstual dan Kontekstual untuk Memahami Orang Jawa Masa Kini Setelah diuraikan makna Lakon Pandhu Swarga dan upacara ritual nyewu, maka sekarang dapat dilihat hubungan yang erat antara keduanya. Pada pokoknya, esensi dari Lakon Pandhu Swarga dan upacara ritual nyewu adalah menyempurnakan tubuh materiil orang yang telah meninggal dan mengantarkan rohnya mas uk ke swarga agar menyatu kembali dengan Dzat Mut - lak. Segera setelah meninggalnya tubuh materiil seseorang masih ada di dalam bumi yang dimiliki oleh Prthivi. Sementara itu, roh seseorang pada waktu yang sama menuju ke tempat pembayatan selama beberapa waktu untuk membersihkan diri dari perbuatan-perbuatannya yang jahat dan kotor. Dalam rangka membebaskan roh dari siksaan, baik tubuh materiil maupun roh harus ditebus dengan sarana sesajiansesajian (cf. Hinzler, 1981: 226). Demikianlah hal hakiki yang dapat menghubungkan Lakon Pandhu Swarga dengan upacara ritual nyewu. Dengan landasan hakikat itu dapat dikemukakan bahwa bukan tanpa alasan apabila sampai saat ini Lakon Pandhu Swarga masih sering dipentaskan dalam upacara ritual nyewu. Selama beberapa waktu (tahun 1998- 1999) pernah dilakukan pengamatan terhadap dipentaskannya Lakon Pandhu Swarga dalam upacara ritual nyewu. Beberapa tempat yang berlokasi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta: Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Gunung Kidul, dan Kabupaten Sleman menyelenggarakan ritual itu dikunjungi dalam rangka mencari data tentang maksud diselenggarakannya upacara ritual nyewu yang disertai pentas wayang kulit dengan Lakon Pandhu Swarga. Para empunya hajat itu kemudian dijadikan nara sumber. Data tentang nara sumber dapat dijelaskan sebagai berikut. (1). Umur: berkisar antara 45-55 tahun. (2). Agama: Islam, Katholik, Kristen. (3). Pekerjaan: pegawai pada sebuah instansi (negeri, swasta). (4) Hubungan antara yang diperingati dengan nara sumber itu memang cukup bervariasi: ayah, ibu, nenek, kakak, bahkan anak. Berdasarkan wawancara dengan para nara sumber dapat diperoleh keterangan bahwa mereka mempunyai pengetahuan yang samar-samar tentang masalah penyempurnaan roh dan penyucian roh orang yang telah meninggal. Mereka sudah tidak lagi menghayati pengertian tentang penyatuan kembali roh orang yang telah meninggal dengan Dzat Mutlak yang memManu J. Widyaseputra Humaniora 200 Volume XIII, No. 2/2001 buahkan kebahagiaan kekal. Pada umumnya pengertian mereka tentang upacara ritual nyewu dengan ritus-ritusnya terbatas. Mereka berpendapat bahwa diselenggarakannya upacara ritual itu adalah untuk mengirim doa bagi orang yang telah meninggal (Beatty, 1999: 230). Pengetahuan mistik orang Jawa tentang hubungan spiritual antargenerasi telah menjadi konsepsi yang sangat abstrak bagi mereka. Untuk menjelaskan situasi kultural orang Jawa masa kini dalam menghayati upacara ritual nyewu beserta ritus-ritusnya, di sini dipinjam pernyataan yang dikemukakan oleh Clooney: every text is a new one and every reading has its unique feature (Clooney, 1990: 30). Upacara ritual nyewu di sini dipahami sebagai teks. Dengan pemahaman semacam itu upacara ritual nyewu dapat dibaca dan dibaca kembali. Pemahaman orang Jawa masa kini terhadap ritual itu juga merupakan hasil dari proses pembacaan terhadap tradisi itu. Keadaan riil semacam itu kemudian menimbulkan pengertian: tradisi Jawa berhadapan dengan masa kini dan masa mendatang. Tradisi dan masa lalu adalah dua istilah yang tidak dapat ditukar. Tradisi dapat dipahami sebagai bagian masa lalu yang telah dipilih orang Jawa untuk dipelihara sebagai sesuatu yang normatif demi masa sekarang. Para nara sumber sebagai orang Jawa yang Islam, Katholik, Kristen, tidak hanya berdiri pada tradisi sendiri tetapi juga ?diprasangkai? oleh tradisi mereka. Mereka tidak dapat mendekati kepercayaan dan praktik secara menyeluruh. Masa lalu agama mereka masing-masing adalah bagian dari horizon hermeneutik mereka dan dapat menyadarkan bahwa dimensi pemahaman mereka merupakan langkah pertama yang penting ke arah pengetahuan yang valid. Seperti telah diketahui Gadamer telah berusaha merehabilitasi pengertian prasangka dan ia juga berusaha menetapkan bahwa prasangka bukanlah antitesis dengan determinasi yang bebas dan beralasan tentang suatu masalah. Ia berusaha pula mendudukkan eksistensi prasangka yang sah. Keabsahan prasangka diuji dan dinilai oleh alasan tentang tingkatan bahwa mereka tidak hanya mengenali situasi hermeneutik mereka tetapi secara aktif dan paham memilih untuk hidup di bawah otoritas tradisi dan mengakui bahwa otoritas tradisi itu menjadi jalan yang hebat menuju pengertian (McWilliam, 1993: 55). Namun, mereka tidak dapat mempunyai pengetahuan yang objektif tentang masa lalu. Diharapkan mereka mengakui baik situasi hermeneutis yang menjadi tempat hidup mereka maupun potensi neotik tradisi Islam, Katholik, Kristen. ?Potensial? karena mereka tidak dapat memperkirakan bahwa mereka selalu dan bahkan biasanya, memahami dan menerjemahkan tradisi itu dengan benar. Seringkali mereka juga hanya melihat hal yang ingin dilihat. Sementara berusaha memahami situasi yang diungkapkan oleh tradisi mereka harus mengatasi empati dengan situasi masa lalu demi ?fusi? horizon tradisi dengan horizon mereka sendiri: mengukur tradisi dengan keberadaan mereka pada masa kini (McWilliam, 1993: 55). Tolok ukur semacam itu pula yang dipergunakan oleh para nara sumber terhadap Lakon Pandhu Swarga yang dipentaskan dalam upacara ritual nyewu. Mereka menganggap makna kedua ritual itu sebagai pengertian yang sangat abstrak. Hal itu dapat terjadi karena adanya pluralisme teologis. Dalam hal ini, pluralisme teologis memungkinkan untuk berwawancara di antara orang-orang dari tradisi yang berbeda yang ikut serta berwawancara untuk alasan- alasan yang sangat berlainan dan yang dalam kenyataannya tidak menyetujui banyak hal tentang tradisi itu (Huyssteen, 1998: 226-227). Wawancara yang berproses secara intensif antara para nara sumber dengan lingkungan sekitarnya menyebabkan terjadinya kesamar-samaran dalam memahami tradisi Jawa itu dan keadaan itu berkembang luas. Perubahan dari pemahaman tradisional ke masa kini melibatkan banyak orang (Amaladoss, 1992: 18; cf. Page, 1996: 106-114) sehingga pengertian makna Lakon Pandhu Swarga dalam upacara ritual nyewu juga mengalami perubahan dalam masyarakat Jawa masa kini. F. Kesimpulan Sebagai akhir pembicaraan dapat dikatakan bahwa orang Jawa selalu menguraikan dunianya hanya melalui pengalaman yang diinterpretasi. Mereka tidak memRelevansi Analisis Tekstual dan Kontekstual untuk Memahami Pentas Wayang Kulit Humaniora Volume XIII, No. 2/2001 201 punyai dasar berpijak, tempat untuk mengevaluasi, menilai, dan mengamati. Mereka lepas dari landasan yang diberikan oleh beberapa tradisi yang spesifik (cf. MacIntyre, 1998: 350). Dalam pengertian ini, interpretasi bekerja dalam proses penemuan yang ilmiah seperti yang hadir dalam bentuk-bentuk pengetahuan naratif yang berbeda-beda. Interpretasi berjalan secara ulang-alik, baik bagi mereka yang bergerak dalam bidang ilmu pengetahuan, moralitas, seni, maupun religi. DAFTAR SINGKATAN AV : Arjunavivaha Atharva V : Atharva Veda BrhdAUp : Brhad Aranyaka Upanisad BS : Bima suci JAS : Journal of Asiatique Studies KWK : Kaset Wayang Kulit LPS : Lakon Pandhu Swarga NR : Navaruci RIMA : Review of Indonesian and Malaysia Affairs TBG : Tijdschriff voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde uitgegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. TU : Tarikh Umum VKI : Verhandelingen van Koninklijk Instituut van Kunsten en Wetenschappen VKNAWL : Verhandelingen van het Koninklijk Nederlasch Akademie van Wetenschappen, afdeling Letterkunde. DAFTAR PUSTAKA Amaladoss, M., 1992, ?Changing Culture and Religion?, Jeevadhara XXII, No. 127, hlm. 7-18. Anand, Subhash, 1993, ?The Hindu Temple. Its Significance Today?, Jeevadhara XXIII, No. 133, hlm. 97-119. Basham, A.L., 1989, The Sacred Cow. The Evolution of Clasical Hinduism. London, etc.: Rider. Beatty, Andrew, 1999, Varieties of Javanese Religion. An Anthropological Account . Cambridge: Cambridge University Press. Brandes, J.L.A., 1889, ?Een Jayapatra Of Acte van Eene Rechterlijke Uitspraak van ?aka 849?, TBG XXXII, hlm. 98- 149. Clooney, Francis X., 1990, ?When the Religions Become Context?, Theology Today XLVII, No. 1, hlm. 30- 38. Crawfurd, J., 1820, History of the Indian Archipelago Vol.I. Edinburgh. Ghosh, Rajeshwari, 1968, ?Bhima in Indonesia?, JAS X, No. 1-4, hlm. 49- 55. Gitomer, David L., 1991, ?Raksasa Bhima: Wolfbelly among Ogres and Brahmans in the Sanskrit Mahabharata and the Venisamhara?, dalam: Arvind Sharma, (ed), Essays on the Mahabharata. Leiden: E.J. Brill, hlm. 296-323. Goris, R., 1960, Bali: Studies in Life, Thought, and Ritual. The Hague and Bandung: W.van Hoeve. Hadisugito, Ki, 1995, Kaset Wayang kulit Lakon Pandhu Swarga. No. 9325. Fajar Record. Hazeu, G.A.J., 1894, Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel. Leyden. Hiltebeitel, Alf, 1990, The Ritual of Battle. Krishna in the Mahabharata. Albany: State University of New York Press. Hinzler, H.I.R., 1981, ?Bima Swarga in Balinese Wayang?, VKI 90. The Hague: Martinus Nijhoff. Hooykaas, C., 1964, ?Agama Tirtha: Five Studies in Hindu Balinese Religion?, VKNAWL. Amsterdam. Manu J. Widyaseputra Humaniora 202 Volume XIII, No. 2/2001 Hooykaas, C., 1966, ?Surya-Sevana: The Way of God of Balinese Siva Priest?, VKNAWL. Amsterdam. ????, 1976, ?Balinese Death Ritual-As Described and Explained from the Inside?, RIMA 2, hlm. 35-49. Huyssteen, J. Wentzel van, 1998, ?Tradition and the Task of Theology?, Theology Today 55, No. 2. Hlm. 213-228. Jayaatmaja, Manu, 1996, Ruwatan: Dari Adevih Visah Sampai Devi Vak . Yogyakarta: Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada. Keeler, Ward, 1987, Javanese Shadow Plays, Javanese Selves. Princeton: Princeton University Press. ????, 1992, ?Release From Kala?s Grip: Ritual Uses of Shadow Plays in Java and Bali?, Indonesia 54, October, hlm. 1-25. Koanantakool, Paritta Chalermpow, 1989, ?Relevance of the Textual and Contextual Analyses in Understanding Folk Performance in Modern Society: A Case of Souhtern Thai Shadow?, Asian Folklore Studies XLVIII, No. 1, hlm. 31-57. Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Koothottil, Abraham, 1982, Moksa as the Ultimate Goal?, Jeevadhara XII, No. 67, hlm. 35-51. Kramrisch, S., 1976, The Hindu Temple. Delhi: Motilal Banarsidass. Krom, N.J., 1931, Hindoe-Javaansche Geschiedenis. The Hague: Martinus Nijhoff. MacIntyre, Alasdair, 1988, Whose Justice? Which Rationality. (Notre Dame: University of Notre Dame Press). McWilliam, Joanne, 1993, ?Tradition Before the Future?, Toronto Journal of Theology 9, No. 1, hlm. 51-66. Page, Ruth, ?Theology and the Ecological Crisis?, Theology XCIX No. 788, hlm. 106-114. Pischel, R., 1906, ?Das Atlindische Schattenspiel?, in: Sittzungsberichte der Koniglich Preussischen Akademie der Wissenschaften. 23, hlm. 482-502. Poerbatjaraka, R.Ng., 1940, ?Dewaruci?, Djawa XX, hlm. 7-55. Prijohoetomo, 1934, Nawaruci. Inleiding, Middel-Javaansche Prozatekst, Vertaling. Groningen, etc.: J.B. Wolters. Ras, J.J., 1976, ?The Historical Development of the Javanese Shadow Theatre?, RIMA 2, hlm. 50- 76. Sarkar, Himansu Bhusan, 1971, Corpus of the Inscriptions of Java (up to 928 AD), Vols.I-II. Calcutta: Firma K.L. Mukhopadhyay. Sastri, Nilakanta, 1949, South Indian Influence in the Far East. Bombay: Hind Kitabs Lts. Sears, Laurie Jo, 1984, ?Epic Voyages: The Transmission of the Ramayana and Mahabharata from India to Java?, dalam: Stephanie Morgan and Laurie Jo Sears, (eds), Aesthetic Tradition and Cultural Transition in Java and Bali. University of Wisconsin. Shulman, David, 1980, Tamil Temple Myth: Sacrifice and Divine Marriage in the South Indian Saiva Tradition. Princeton: Princeton University Press. Soekmono, R., Tjandi: Fungsi dan Pengertiannya. Djakarta: Disertasi Universitas Indonesia. Relevansi Analisis Tekstual dan Kontekstual untuk Memahami Pentas Wayang Kulit Humaniora Volume XIII, No. 2/2001 203 Wiryamartana, Kuntara I, 1990, Arjunawiwaha. Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana Press. Wilson, H.H., 1835, Select Specimens of the Theatre of the Hindus . London.